Wanita Berhidung Besar
Oleh: Ainuen Nadhifah
Ciptaan Tuhan tidak ada yang gagal. Karena itu banyak yang menasehati untuk tidak mengeluh jelek. Kamu cantik. Iyaa, betul. Kita bisa merasa cantik, tapi orang-orang tidak semuanya menganggap orang lain cantik.
Mau membohongi diri secerdik apapun, kenyataannya ada beberapa kondisi yang membuat kata jelek, tidak bisa dipaksa menjadi cantik. Ukuran hidung yang besar misalnya.
Hidung pesek tetaplah cantik, apalagi hidung mancung. Tapi bagaimana dengan hidung besar, lubang besar, lebar, dengan ukuran dua ibu jari orang dewasa, bahkan muat dimasuki dua tutup botol air mineral. Apakah itu… cantik?
“Haha, kamu tahu Usop? Si hidung panjang yang suka berbohong? Dia tetap tampan meskipun hidung aneh. Tapi kamu? Hahaha.”
“Si hidung besar datang, lihatlah! Hidungnya bergoyang saat dibuat jalan.”
“Kamu butuh diet tampaknya. Diet hidung! Hahahaha. Lemak hidungmu, pfft.”
Gadis itu sadar betul hidungnya aneh dan tidak cantik. Ia sampai memberanikan diri mengeluh dalam hatinya kepada Tuhan dan terang-terangan tidak bersyukur di hadapan-Nya. Sesungguhnya ia tidak perlu diingatkan setiap hari, “Hey hidungmu besar, lho.” seperti yang dilakukan pria itu tiap hari.
Dia heran, padahal manusia lain sudah lelah mengejeknya. Kenapa dia terus semangat. Seolah-olah cita-citanya selama ini adalah masuk Neraka.
“Hey, hidung besar!” Laki-laki itu datang ke bangku gadis hidung besar lantas menoel-noel ujung hidungnya yang menggantung.
“Kau tidak ke kantin? Apa jangan-jangan kamu sedang menabung uang untuk operasi?” Dilanjutkan dengan tawa.
Laki-laki itu menggosok ibu jari dan telunjuknya. Terasa berminyak karena digunakan menoel hidung gadis yang menundukkan kepalanya tersebut.
“Hahaha, malah nunduk terus. Nanti hidungmu jatuh. Tapi bagus deh. Lebih baik nggak punya hidung daripada punya tapi–”
Gadis itu sekonyong-konyong mengambil papan alas ujian yang ada di depannya lalu menghempaskannya ke wajah laki-laki itu.
Brrraaak!
Suaranya sangat kencang, sampai membuat anak-anak yang hilir-mudik di koridor berkenan mengintip dari jendela atau masuk ke dalam kelas. Mulut mereka melongo, melihat papan ujian yang patah dan pelipis laki-laki yang meneteskan darah.
Laki-laki itu tersenyum tipis sambil mengecek pelipisnya yang basah. Sementara gadis hidung besar terkejut. Ia tidak bermaksud melakukannya sekeras itu, tapi, “Kamu pantas mendapatkannya!” Ucap gadis itu. Sakit hatinya selama ini terasa terbayar, meskipun ada rasa bersalah sebesar gunung.
Dia melempar papan ujiannya ke atas meja. Mengusap air mata yang turun begitu derasnya, lantas meninggalkan laki-laki yang diam mematung tersebut.
Tapi langkahnya terhenti, saat tangannya dipegang laki-laki itu. Mereka bertatapan sebentar. Air mata terus turun, hidung kembang-kempis, wajah memerah, terlihat sekali di wajahnya yang selama ini menahan luka.
Laki-laki itu melepas genggaman tangannya. Bersamaan dengan gadis hidung besar menghempaskan tangan laki-laki itu kemudian pergi.
Sejak saat itu, laki-laki yang ‘mungkin’ bercita-cita masuk Neraka lewat jalur lisannya, berhenti mengganggu gadis hidung besar. Dia diam dan soal masalah pelipisnya yang berdarah tidak ia permasalahkan sama sekali. Ia tidak meminta ganti rugi atau meminta kepala sekolah mengeluarkan sisiwi itu, tidak!
Kediamannya terjadi sampai mereka lulus sekolah SMA, dan saat masa-masa kuliah mereka tidak bertemu lagi karena berbeda kampus dan tujuan.
Hingga ada satu waktu, mereka bertemu lagi karena si laki-laki memiliki kepentingan yang mengharuskannya bertemu dengan gadis hidung besar. Dia memberikan undangan pernikahannya, berharap kenalan satu SMA-nya itu datang meramaikan acaranya.
Gadi hidung besar pun datang.
***
“Kamu tahu? Apa karma dari orang yang suka menghina orang lain?” Gadis hidung besar tampak sangat bahagia. Sepertinya ini pertama kalinya dia sebahagia ini. Senyumnya merekah selama sebulan, saat ada hal sedih dia tetap tersenyum karena satu alasan.
Temannya yang ia ajak bicara menimpali dengan pertanyaan, “Memangnya apa karmanya?”
“Dia akan menikahi sesuatu yang telah ia hina. Hahaha.”
“Hah? Maksudmu?”
“Jadi satu bulan lalu aku ke acara nikahan kenalan satu SMA-ku dulu. Aku benci dia, karena dia sering mengejekku berhidung besar. Saat datang ke pernikahannya, aku seketika ingin tertawa, hampir saja aku menyemprot wajahnya dengan liurku karena tawaku hampir meledak.”
“Memangnya kenapa? Apa yang lucu?”
“Istrinya… hahaha, istrinya berhidung besar juga sepertiku.”
Gadis hidung besar tertawa. “Ah, maksudku, aku bukan menghina istrinya, aku hanya ingin tertawa karena sesuatu yang ia anggap menjijikkan, kini menjadi sesuatu yang harus dia lihat setiap hari sampai dia mati.”
***
Sementara itu di tempat lain, seorang pria yang tak kalah bahagia, baru saja mendapatkan kabar bahwa istrinya telah hamil menginjak usia 2 minggu. Dia memeluk istrinya erat lalu mengucap terimakasih sebanyak-banyaknya.
“Sayang, aku ingin bertanya,” ucap sang istri.
“Iya? Kenapa, Sayang?”
Wanita yang akan segera menjadi ibu itu tampak lebih manja daripada biasanya.
“Kamu cinta aku gak?”
“Huh? Kok tanya itu? Aneh-aneh aja.”
“Kenapa nikahin aku? Aku kan jelek?”
“Jelek? Karena hidungmu besar? Itu gak masalah.”
“Kenapa kenapa kenapa?! Kenapa bisa? Kenapa kamu nggak masalah sama hidung aku?!” Ibu muda itu jadi rewel. Suaminya terkekeh, lalu mengacak puncak kepala istrinya gemas.
“Mau dengar sebuah cerita?”
“Mau!”
“Jadi duluuuuu sekali, aku pernah ditampar seorang wanita di sini,” ucapnya sambil menunjuk pipi. “Namparnya pake alas ujian, jadinya dari pipi sampai pelipis, kena semua.”
“Terus-terus?”
“Alasan dia nampar aku karena dia marah aku sering ngejekin hidungnya yang besar.”
“Terus?”
“Habis dia pukul aku, aku tiba-tiba ngerasa bersalah.”
“Jadi kamu menikahiku karena rasa bersalahmu itu?!” Agak marah. Ia merasa dinikahi karena kasihan.
Pria itu menggeleng keras, “Tidak. Aku menikahimu bukan karena rasa bersalahku, tapi karena aku tidak bisa menikahinya.”
Setelah dipukul, dia menyadari, ada keindahan pada wajahnya yang menangis. Itu sangat cantik, karyanya yang selama ini ia pahat dari kelas 1 SMA sampai kelas 3, berhasil membuat ekspresi terluka paling sempurna di wajah gadis hidung besar yang selalu tampak jelek di matanya.
Tamat
Catatan Penulis
Ide cerita ini udah muncul lama banget, tapi baru saya tulis sekarang, yaitu hari Senin 8 Agustus 2022, pada pagi jam 6 pagi. Biar gak lupa, aku tulis di note soal alurnya, tapi ternyata alur yang saya rencanakan berubah gitu aja pas saya tulis.
Saya pikir terlalu romantis bila si penghina ini memiliki mindset sehat pada akhirnya. Saya kesannya jadi gak pemaaf, padahal memaafkan itu bagus banget buat kesehatan.
Entahlah, ini fiksi. Tapi hidung saya juga besar. Saya gak pernah dihina sampai seekstrim itu, tapi ada yang pernah menyinggung sedikit. Tapi… pada akhirnya mereka menyayangi saya.