Saya pernah menghina anak kecil. Maksud saya buat candaan saja. Saya mengatainya hitam, tapi dia hitam manis. Hanya saja, saya tidak menyebutnya manis waktu itu, hanya hitam.
Yang membuat candaan ini bukan cuma saya, orang tuanya, tetangga, neneknya dan saudara-saudaranya pun juga.
Kalimat hinaannya sederhana saja, seperti:
“Item banget, Masya Allah.”
“Lihat deh tanganmu sama tanganku, beda banget.”
“Hey, bajunya dipake hey! Kayak arang gitu dipamer-pamerin.”
Menggunakan pengucapan santai yang dicampur keinginan untuk tertawa.
Saat itu saya mengatakan padanya, “Wkwkwk, item banget,” ucap saya setelah mengambil satu foto wajahnya. Itu reflek banget, antara sengaja dan gak sengaja karena saya reflek memberikan reaksi.
Setelah saya ejek begitu, ekspresi mukanya berubah. Mimik mukanya datar, tapi sorot matanya masih hidup dan saya melihat kesedihan dari sorot mata itu.
Anak kecil ini usianya masih 5 tahun. Dia pandai bicara dan telah memiliki koleksi kosakata kehidupan sehari-hari. Dia mengerti apa yang saya katakan, dia juga mengerti apa yang dikatakan orang-orang.
Saya coba perhatikan dia dari jauh, tiap dia diejek apa reaksi yang dia berikan. Dan yang dia tunjukkan adalah ekspresi yang sama saat saya mengatainya. Dia berubah diam untuk sesaat, atau kadang pura-pura tidak menggubrisnya dan matanya… matanya kelihatan sedih.
“Apa itu ngelukain hatinya?” Tanyaku waktu itu. Saya pikir dia tidak begitu paham apa itu ejekan, apalagi ejekan itu dari keluarganya, yang mana meskipun diejek, si anak pasti tahu kalau tidak ada yang lebih mencintainya daripada keluarganya sendiri. Selain itu, diejek hitam hanya sesekali, dia mendapatkan pujian ganteng lebih banyak dari keluarganya.
“Ah, masalah kecil. Nanti saat besar dia juga lupa apa yang terjadi saat dia masih kecil. Umurnya masih 5 tahun,” pikir saya waktu itu.
Tapi semakin saya pikir, saya malah menggali ingatan masa lalu saya dulu.
Hati saya berbisik, “Gak, dia gak bakal lupa.” Karena saya masih mengingat ejekan yang pernah saya terima dulu. Dari ingatan ini pula saya mengkotak-kotakkan keluarga dan saudara saya di dalam ingatan.
Si dia, tidak pernah mengejek saya. Si dia, pernah mengejek saya. Si dia, dan dia. Bukannya saya tidak memaafkan mereka, saya cuma mengingat tindakan mereka dahulu.
Setelah mengkotak-kotakkan mereka, lalu apa yang terjadi? Tidak ada. Itu hanya ingatan. Seseorang itu sangat berharga di ingatan saya. Dia yang mampu menjaga lisannya akan terus saya ingat selagi mampu.
“Bodohnya saya, kenapa saya telat menyadari ini?”
Mereka tahu! Mereka paham! Mereka ingat! Perkataan buruk yang sekarang saya katakan pada anak usia 5 tahun, akan selalu mereka ingat sampai besar nanti.
Saya jadi teringat dengan sebuah video anak kecil menangis dan mengatakan pada ibunya bahwa, “Aku jelek, aku hitam, kata teman-temanku aku jelek.”
Sebenarnya sejak kapan anak-anak tahu apa itu jelek? Sejak kapan anak-anak bisa merasakan insecure tentang fisik mereka? Saya telat sadar. Saya pikir di mata anak-anak, selagi orang itu seru, baik hati dan jujur, mereka menjadi segala-galanya dalam strata hubungan sosial.
“Saya gak tahu, anak-anak bisa merasa jelek.”